Minggu, 28 Februari 2010

Bahaya bercurhat

BAHAYA BERCURHAT

Banyak faktor yang menyebabkan seseorang memilih curhat pada pihak ketiga dan bukan pada pasangannya.
Sebelum mengkaji lebih jauh saya akan bercerita sedikit tentang seorang kakek dan cucu bersama keledainya. Mungkin ini sedikit berhubungan dengan bahanyanya bercurhat…
Ø Pada suatu hari ada seorang kakek dan cucu bersama keledai tua sedang menelusuri desa2 menuju ke kota untuk menjual barang yang akan diperdagangkan oleh kakek dan cucu tersebut.

Ø Kakek dan cucu tersebut memulai perjalannnya, sampai di desa 1, kemudian orang-orang didesa tersebut berbicara, Bertapa bodohnya kakek dan cucu itu ada keledai tidak dinaiki saja. Begitu sampai didesa 2 si cucu naik ke keledai karna lelah, kemudian didesa 2 orang-orang bilang jahat sekali anak itu kakek sudah tua tidak dibantu menggiring keledai. Begitu sampai didesa 3 orang-orang kakek yg menaiki keledai dan si anak/cucu kakek yang menggiring keledai tersebut, tapi didesa tersebut bilang jahat sekali kakek itu anak kecil disuruh menarik keledai dan kakek tersebut. Sampai didesa ke 4 kakek dan cucu naik ke keledai tapi orang-orang disana bilang astaga”” jahat sekali keledai sudah tua di naiki seperti itu..

Ø Dari sepenggal cerita diatas bahwa jelas seseorang sangat berbeda2 pendapat masing-masing dalam menilai kita mungkin itulah sedikit bahayanya bercurhat bwat diri kita terutama kepada:
1. Curhat pada teman sejenis
Salah satu dampaknya adalah tidak terjaminnya rahasia yang diceritakan. Bukan tidak mungkin masalah yang sangat pribadi sifatnya akan berkembang menjadi "gosip nasional" karena diceritakan pada orang yang salah. Sementara solusi yang diberikan pun belum tentu dapat dipertanggungjawabkan.

2. Curhat pada teman lawan jenis
Bisa jadi niat awalnya memang sebatas ingin mendapat masukan dari sudut pandang lawan jenis. Namun risiko yang ditimbulkannya bisa jadi tak kalah dahsyat. Bermula dari sekadar curhat, kemudian muncul empati yang bukan tak mungkin lantas merebak menjadi benih-benih cinta dan berakhir dengan perselingkuhan. Runyam kan? Kalaupun si teman lawan jenis tempat curhat ini benar-benar tulus tanpa melibatkan emosinya, besar kemungkinan tetap saja akan memancing munculnya fitnah dari orang-orang di sekitar mengenai kedekatan mereka.
3. Curhat pada kakak, adik, orang tua atau saudara
Besar kemungkinan tidak mendapatkan sudut pandang yang objektif. Disadari atau tidak, karena tali persaudaraan akan membuat mereka selalu saling membela. Penilaian yang tidak proporsional seperti ini tentu tak bisa diharapkan akan membantu menyelesaikan permasalahan yang ada.

4. Curhat pada mertua
Dorongan curhat pada mertua muncul karena asumsi mertualah yang merupakan sosok yang paling bisa mengerti suami/istri. Namun tak banyak orang tua yang bisa bersikap objektif ketika harus menilai anaknya sendiri demi membela kepentingan menantunya. Bisa-bisa bukannya solusi yang didapat, tapi malah mertua yang ikut-ikutan menyalahkan si menantu yang memilihnya sebagai tempat bercurhat.

KENALI BATASAN CURHAT
Jadi, sejauh mana curhat boleh dilakukan pada pihak ketiga? Yang pasti, tukas Clara, kebiasaan menceritakan seluruh permasalahan rumah tangga pada pihak ketiga bisa dikategorikan sebagai kesalahan. "Karena bisa jadi solusi yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Bukankah hanya suami istri berdua yang tahu pasti duduk permasalahannya?" Alih-alih mendapatkan solusi, bisa jadi saran pihak ketiga itu malah makin merunyamkan masalah.
Intinya, tandas Clara, kepada siapa dan apa saja yang harus di-curhat-kan, tergantung pada apa permasalahannya dan bagaimana kondisi masing-masing. "Bisa jadi suatu saat memang butuh curhat pada pasangan, dan pada kesempatan lain justru butuh pihak ketiga." Saat membutuhkan orang lain sebagai tempat curhat, saran Clara, sebaiknya seleksi dengan ketat siapa yang akan dipilih. Apakah yang bersangkutan jujur, bisa dipercaya, mampu bersikap dewasa dan objektif, serta sederet kriteria positif lainnya. Jadi, pertimbangkan masak-masak sebelum membeberkan isi hati pada orang lain. Siapa pun dia yang jadi pilihan.

CERMATI TANDA-TANDA BAHAYA
Bila merasa keberatan pasangan curhat pada orang lain, tidak ada salahnya untuk mengatakannya secara terus terang. Katakan saja padanya, "Daripada curhat ke orang lain, padahal aku yang jadi topik pembicaraan, kenapa tidak bicara terus terang saja ke aku?" Dengan tahu apa yang ada di hati masing-masing, suami istri bisa mencari solusi demi kebaikan bersama." Tapi kalau memang yang di-curhat-kan pada pihak ketiga bukan hal-hal yang prinsip atau bukan masalah rumah tangga, ya boleh-boleh saja. Manusiawi sekali kok kalau sesekali ingin ngobrol lebih dalam dengan orang lain," ungkap Clara.
Namun "alarm" adanya bahaya yang mengancam ikatan perkawinan perlu diwaspadai kalau frekuensi curhat tentang kehidupan rumah tangga sudah begitu tinggi. Artinya, salah satu sudah lebih banyak mengungkapkan semua masalah yang dirasakannya pada pihak ketiga sampai-sampai tidak ada komunikasi sama sekali dengan pasangan. Kalaupun komunikasi masih ada, itu minim sekali.
"Bila sudah sampai di titik seperti ini sebaiknya segera introspeksi diri, bicarakan dari hati ke hati, 'Mau dibawa ke mana pernikahan tersebut?' Bila dirasa sudah tidak mampu mengatasinya, ada baiknya libatkan ahli, seperti penasehat pernikahan. Tentunya bila pasangan tersebut memang masih ingin mempertahankan ikatan pernikahannya," tandas Clara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar